Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) mempertanyakan keseriusan pemerintah untuk menurunkan biaya logistik. Dalam hal ini, terkait penghapusan uang jaminan kontainer untuk kegiatan impor, utamanya terkait kondisi peti kemas di lapangan dan depo kontainer kosong eks impor.
Ketua BPD GINSI, Capt H Subandi, selama ini importir merasa dibebani dengan besarnya biaya yang ditimbulkan oleh klaim atas kerusakan peti kemas yang digunakan.
“Sementara, hingga kini importir masih diwajibkan menaruh uang jaminan kerusakan peti kemas tersebut untuk mengambil dokumen delivery order (DO) di perusahaan pelayaran, baik menggunakan mata uang dolar maupun rupiah,” kata Subandi, dalam acara sosialisasi dan coaching clinic PDE Internet dan sosialisasi pemeriksaan container kosong di depo, di Hotel Ibis, Sunter, Rabu (20/2/2019).
Subandi melanjutkan, besaran uang jaminan itu berkisar antara US$ 100 sampai dengan US$250 per boks peti kemas. Bahkan, ada importir yang dikenai hingga Rp 4 juta per boks peti kemas. Artinya, dalam setahun bisa mencapai Rp 3 triliun lebih.
“Uang jaminan itu, diterima oleh perusahaan shipping yang hampir seluruhnya merupakan perusahaan asing yang nantinya akan dikirim ke pusatnya di luar negeri. Mirisnya, uang jaminan itu jarang dan hampir tidak pernah kembali. Ibaratnya, ada uang jaminan tapi tidak terjamin kontainer kami,” papar Subandi.
Sebenarnya, kata Subandi, upaya GINSI untuk menghapuskan uang jaminan ini telah dikomunikasikan kepada Kementerian Koordinator (Kemko) Perekonomian maupun Kementerian Perhubungan (Kemhub), dengan harapan bisa segera dibuatkan aturannya. “Harapannya sih, dalam satu atau dua bulan ini selesai,” imbuh Subandi.
Selama menunggu, kata Subandi, GINSI mengusulkan survei kerusakan kondisi peti kemas melibatkan surveyor independen, dalam hal ini Surveyor Indonesia dan Sucofindo, sehingga importir bisa mendapatkan data yang lebih fair dan transparan serta biaya yang lebih terukur atas setiap kerusakan yang terjadi pada peti kemas.
“Hal ini, juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknologi, dalam bentuk aplikasi berbasis Android,” tambah Subandi.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Depo Kontainer Indonesia (DPP ASDEKI), Muslan AR, aplikasi yang bekerja secara real-time akan memudahkan para pelaku usaha dalam melakukan pengecekan kontainer kosong di Depo. Disamping mengurangi biaya atau cutting cost, yang selama ini dikeluhkan importir.
“Cutting cost itu juga akan berpengaruh kepada kemacetan. Karena dengan inikan artinya kita ngga perlu pergi dari kantor ke Depo, atau sebaliknya dari Depo ke kantor. Cost transport itu akan hilang,” ungkap Muslan.
Muslan menambahkan, aplikasi ini direncakan akan diperkenalkan pada 27 Februari 2019. Jakarta akan menjadi wilayah pertama yang menerapkan sistem ini, khususnya Depo GNS, disusul 30 depo lainnya. “Harapannya dalam satu atau dua bulan semua depo di Jakarta akan mulai menerapkan,” tandas Muslan.